SonoraBangka.id - Kita mendapatkan kabar tentang masuknya mutasi virus corona asal Inggris atau B.1.1.7 ke Indonesia, tepat setahun pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia.
Sementara itu, beberapa negara lain juga sudah melaporkan penemuan kasus dari mutasi virus ini, termasuk Singapura, India, Malaysia, hingga Korea Selatan.
Di beberapa negara, varian ini bahkan sudah menjadi strain yang dominan. Di sisi lain, program vaksinasi Covid-19 kini sedang dijalani, termasuk di tanah air.
Bagaimana efektivitas vaksin menyusul adanya strain baru yang masuk ke Indonesia?
Vaksin yang saat ini sudah didistribusikan ke masyarakat adalah vaksin dari Sinovac, yang jumlahnya ditargetkan mencapai 185 juta dosis.
Selain Sinovac, pemerintah maasih menunggu pengadaan vaksin dari sejumlah produsen, antara lain Pfizer, AstraZeneca dan Novavax. Sejauh ini, vaksin-vaksin yang ada disebut masih efektif untuk "melawan" strain virus corona yang ada di tanah air.
"Sampai sejauh ini vaksin yang ada, termasuk Sinovac, masih efektif untuk mencegah terinfeksi virus yang mengalami mutasi ini."
Demikian diungkapkan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP kepada Kompas.com, Selasa (3/3/2021).
Efektivitas vaksin terhadap B.1.1.7 juga telah banyak menjadi pembahasan di berbagai negara.
Laman DW, misalnya, menyoroti kemungkinan kemanjuran vaksin yang bisa berubah saat varian baru virus corona muncul.
Menurut para ilmuwan dari Universitas Cambridge, vaksin Pfizer-BioNTech kemungkinan besar masih efektif melawan varian virus B.1.1.7 yang disebut lebih mudah menular.
Namun, kemanjurannya mungkin sedikit terpengaruh.
Sementara Medical News Today menyebut adanya sebuah penelitian yang menemukan bahwa dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech tetap akan efektif terhadap mutasi virus corona B.1.1.7.
Makalah penelitian yang diterbitkan di jurnal Science tersebut mencatat, vaksin cukup merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi dalam jumlah yang cukup, yang dapat menetralkan varian SARS-CoV-2 baru.
Penelitian tersebut menggunakan "pseudovirus", yang mengandung karakteristik protein lonjakan baik dari varian B.1.1.7 maupun varian yang lebih lama, yang awalnya muncul di Wuhan, China.