Sejarah Hari Ini: 8 Maret, Diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Womens Day, Apa Makna Warna Ungu?
Sejarah Hari Ini: 8 Maret, Diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Womens Day, Apa Makna Warna Ungu? ( www.hlimg.com )

Seperti Apa Perjuangan Perempuan Dapatkan Pengakuan di Mata Dunia ?

8 Maret 2021 17:44 WIB

SonoraBangka.id - Mengapa semuanya serba “khusus perempuan” atau “khusus wanita”?

Mengapa banyak komunitas perempuan?

Mengapa ada International Women’s Day?

Mengapa tidak ada perlakuan khusus untuk laki-laki?

Nah, mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut terlontar dari mereka yang tidak mengikuti sejarah perempuan di dunia.

Sebab, pengakuan dan keistimewaan tersebut tidak datang dengan sendirinya.

Ada banyak perempuan yang telah berkorban untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia.

Dalam kebanyakan sejarah dunia, kita bisa menemukan berbagai peraturan yang membatasi, mendiskriminasi, bahkan merendahkan perempuan.

Dunia seakan terlahir dengan nilai patriarki dan perempuan dianggap tidak bernilai.

Parahnya lagi, beberapa kaum pria memandang perempuan hanya sebagai objek seksual untuk memenuhi nafsu berahi.

Sedari dulu, perempuan tidak memiliki banyak pilihan dalam politik, pekerjaan, bahkan jodoh. Dalam sejarah politik dunia, perempuan berjuang mati-matian untuk mendapatkan hak memilih.

Begitu pula dalam hal pekerjaan, banyak stigma dan pandangan negatif tentang pemimpin perempuan.

Mereka dianggap lemah, terlalu sensitif, dan tidak kompeten. Tradisi perjodohan juga memaksa perempuan, bahkan yang di bawah umur, untuk menikah tanpa persetujuannya.

Hal ini terjadi di berbagai negara, seperti Pakistan, India, bahkan di Indonesia. Atas nama tradisi dan tuntutan adat, janji suci terucapkan begitu saja.

Novel ?Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam?

Salah satu peraturan adat di Indonesia yang memperlakukan perempuan tidak adil adalah tradisi kawin tangkap atau yappa mawine di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Pria dewasa di Sumba bisa dengan bebasnya menculik perempuan yang mereka ingin kawinkan, tanpa persetujuan sang perempuan tersebut.

Perempuan dianggap tidak punya pilihan dan tidak punya kekuatan.

Pada Juni 2020 lalu, sebuah video yang diunggah, memperlihatkan seorang perempuan di Sumba dibawa paksa oleh beberapa lelaki dengan alasan budaya kawin tangkap.

Kasus tersebut terjadi di tahun 2017, tiga tahun sebelum video tersebut viral.

Perempuan tersebut mengaku ditahan berhari-hari oleh pihak keluarga yang ingin menjadikannya sebagai menantu.

Segala ritual serta rayuan dilakukan agar ia mau menikah dengan anak laki-laki keluarga tersebut.

Ia menangis hingga tenggorokannya kering, tetapi menolak untuk makan dan minum selama ditahan.

Ada kepercayaan bahwa sang perempuan akan terkena sihir yang membuatnya menuruti keinginan keluarga yang menahannya.

Setelah 6 hari, akhirnya keluarga perempuan berhasil bernegosiasi dengan keluarga penculik didampingi oleh pemerintah desa dan LSM setempat.

Perempuan itu pun bebas dan kembali ke pelukan keluarganya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak turun tangan dan melakukan penandatanganan kesepakatan terkait hal ini.

Diharapkan dengan adanya kesepakatan ini, budaya yang melenceng ini bisa segera dihapuskan.

Cerita tentang kawin tangkap ini juga ditulis oleh Dian Purnomo dalam novelnya berjudul “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam”.

Novel ini mengisahkan tentang Magi Diela, seorang gadis Sumba, yang menjadi korban penculikan kawin tangkap oleh beberapa pria saat ia sedang dalam perjalanan menuju tempat penugasannya dari kantor.

Ia diperlakukan seperti binatang. Mereka mencoba menjinakkan Magi dengan ancaman pelecehan seksual.

Gadis itu tidak memiliki pilihan lain selain diam dan menangis di dalam mobil pick-up yang membawanya entah ke mana.

Ternyata, otak dari penculikan tersebut adalah Leba Ali, seorang mata keranjang yang memiliki kekuasaan dan harta berlimpah.

Dengan status itu, sulit untuk Magi bisa melepaskan diri darinya. Kesepakatan keluarga pun tak terhindarkan, orangtua Magi juga tidak punya pilihan.

Magi pun harus berkorban untuk mencapai kemerdekaannya.

Ada 3 pilihan yang ia miliki: meninggalkan orangtua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri.

Semua pilihan seolah tidak berpihak padanya. 

Novel “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” merupakan hasil dari residensi penulis di Waikabubak yang diberikan oleh Komite Buku Nasional dan Kemendiknas, yang mengangkat kisah nyata korban kawin tangkap di Sumba yang mirisnya masih terjadi di era modern ini.

Penulis novel ini, Dian Purnomo, adalah seorang lulusan Kriminologi Universitas Indonesia yang telah menangani masalah perempuan dan anak selama lebih dari 10 tahun.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perjuangan Perempuan Mendapatkan Pengakuan di Mata Dunia", Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2021/03/08/114410320/perjuangan-perempuan-mendapatkan-pengakuan-di-mata-dunia?page=2.


SumberKOMPAS.com
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm