Menyikapi ghosting
Fenomena ghosting paling berdampak pada "korban" dari pelaku ghosting dan keluarganya.
Apalagi dalam kultur Asia, keluarga memiliki andil yang besar dalam sebuah perhelatan akbar dua insan yakni pacaran, tunangan, hingga pernikahan. Peristiwa ghosting ini bisa memberikan sebuah konsekuensi perasaan longing atau pengharapan yang tidak jelas.
Korban juga bisa bingung, kangen, tetapi sekaligus kecewa, marah, dan kesal.
Selain itu, timbul juga dampak ketidakberdayaan dari korban karena merasa diperlakukan tidak adil dan penuh ambiguitas.
Akan tetapi, ghosting harus disikapi dengan tepat. Banyak "korban" yang menyalahkan diri sendiri.
Misalnya, ketika mencari jawaban tentang mengapa ini terjadi? Apa yang salah dari dirinya sehingga pelaku ini tidak menghubungi?
Nah, segala information seeking atau pencarian informasi di tengah situasi ambigu ini yang kadang membawa korban merasa bersalah karena tidak menemukan jawaban.
Jadi, cara yang sejauh ini dinilai tepat adalah dengan menyikapi ketidakpastian itu dengan membangun benteng pertahanan diri dan beradaptasi dengan mencari stabilitas dari gangguan ketidakpastian.
Ketangguhan seseorang dalam situasi ketidakpastian adalah mencari stabilitas dan kepastian orang-orang yang jelas dan sungguh-sungguh mencintai mereka.
Misalnya, melalui dukungan dari keluarga dan teman terdekat. Menggegam kepastian itu dan membuang perasaan yang tidak pasti mengganggu itu.
Sepenggal lagu Ariel "Noah" ini mungkin bisa menjadi mantra bagi korban ghosting yang menjadi fenomena hubungan anak zaman now.
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
Desideria Cempaka Wijaya Murti, PhD
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ghosting, Fenomena Putus Hubungan Anak Zaman Now", Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2021/03/09/115559420/ghosting-fenomena-putus-hubungan-anak-zaman-now?page=2.