Ilustrasi
Ilustrasi ( Thinkstockphotos )

Bahagia Bersama Anak Berkromosom Ganda. Mau Tahu Tipsnya ?

9 April 2021 10:30 WIB

SonoraBangka.id - Dianugerahi anak " spesial" dengan sindroma down (”down syndrome”) pada awalnya bisa membuat para orangtua berurai air mata.

Tetapi dengan penerimaan dan jiwa besar, pengasuhan anak dengan sindroma down menjadi perjalanan yang menguatkan.

Beberapa tahun yang lalu, Dini Prihatini (43) menanti kelahiran anak ketiganya, Rizqy, dengan perasaan bahagia.

Dengan masa kehamilan yang berjalan normal. Tak ada yang aneh di hari H. Proses melahirkan berlangsung lancar seperti dua kelahiran sebelumnya.

Harapan Dini hanya satu, kelahiran si bungsu akan melengkapi kebahagiaan keluarga kecilnya.

Namun, seusai melahirkan, Dini tak kunjung dapat melihat si kecil. Pada hari kedua pasca kelahiran, Dini mendesak petugas medis mengantar si kecil ke kamarnya.

”Yang datang justru suami didampingi dokter anak yang membantu saya melahirkan. Dokter kemudian mengatakan kalau anak saya kemungkinan suspect down syndrome (DS),” ungkap Dini menceritakan peristiwa enam tahun lalu.

Dini dan suaminya pun bertangisan. ”Memang kami pernah mendengar tentang DS. Tapi enggak pernah menyangka kejadian ini akan menimpa kami,” kata Dini.

Beruntung dokter anak yang menjelaskan memberikan dukungan moral kepada Dini dan suami.

”Ini anak spesial. Allah menitipkan kepada ibu karena tahu ibu spesial,” ungkap Dini mengutip kalimat dokter.

Kalimat itu membuat Dini kuat dan mampu menerima keadaan dengan lebih positif.

”Kami menerima Rizqy apa adanya. Kami menangis karena khawatir dengan masa depan kami.

Apakah kami akan sanggup merawatnya karena merawat anak DS tidak mudah, apalagi dengan segala keterbatasan,” kata Dini.

Tak terdeteksi

Aryani Saida (39) juga sama sekali tak pernah menyangka anak ketiganya, Tarra, akan lahir dengan DS. Yani - panggilannya-bahkan telah berulang kali memastikan kondisi Tarra sebelum lahir melalui USG 3 dimensi dan 4 dimensi.

”Dokter mengatakan semuanya baik-baik saja,” tutur Yani. Rupanya Tuhan berkehendak lain.

Ketika melihat wajah Tarra untuk pertama kali beberapa saat setelah melahirkan, Yani sudah bisa menebak jika ada yang tidak biasa dengan Tarra.

”Dalam pikiran saya terngiang-ngiang kata-kata down syndrome. Tapi saya tak tahu itu apa,” katanya.

Selama seminggu Yani memendam perasaan remuk di dadanya. Bahkan kepada suaminya. Yani merasa terpukul.

Merasa menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Tarra. ”Apa salah dosaku.

Kenapa mendapat cobaan seperti ini,” kenang Yani. Didorong rasa ingin tahunya, Yani mencari informasi tentang down syndrome di internet.

Hasil pencarian semakin menguatkan dugaannya. Tarra kemungkinan besar suspect down syndrome.

Tes kromosom meyakinkan Yani. Tekanan berat dirasakan Olivia Duhita (42) yang 15 tahun lalu melahirkan Ratri.

Berbeda dengan Dini dan Yani yang memiliki anak DS pada anak ketiga mereka, Ratri adalah anak pertama Olivia.

”Lebih buruk lagi, dokter yang membantu melahirkan justru membuat saya semakin depresi.

Tanpa basa-basi, dokter mengatakan, karena DS, kelak anak saya akan tumbuh dengan keterbelakangan mental dan hal-hal buruk lainnya,” kenang Olivia.

”Kemarahan” akibat tekanan yang dialami Olivia itu bertahan cukup lama. Dia kerap meradang saat membawa Ratri ke mal, dan ada orang yang menatap Ratri berlama-lama.

”Langsung saya damprat saja. Apa lihat-lihat,” kata Olivia dengan galak. Belakangan dia menyadari dan menyesal dengan apa yang dia lakukan.

”Padahal bisa jadi orang itu melihat Ratri karena mungkin dia punya anak atau saudara yang juga DS,” ungkap Olivia.

Belum diketahui

Down Syndrome (DS) atau Sindroma Down adalah kelainan kromosom yang berdampak pada keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental anak.

Pada anak DS terjadi kelebihan kromosom nomor 21, biasa disebut kromosom ganda, yang mengakibatkan keguncangan pada sistem metabolisme yang kemudian memunculkan DS.

Adalah Noni Fadhilah (49) yang sejak 23 tahun lalu gelisah dengan DS.

Noni yang di tahun 1991 melahirkan anak pertamanya, Zeina (23), dengan DS, kemudian menggagas Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS).

Bersama dua penggagas lainnya, yaitu almarhum Aryati Supriono dan Ellya Goestiani, Noni merasa perlu membuat perkumpulan tersebut agar orangtua yang memiliki anak DS mendapatkan dukungan mental.

”Bayangkan pada sekitar tahun 1990-an, belum ada informasi yang cukup tentang DS.

Bahkan tenaga medis pun, seperti dokter dan para perawat, masih banyak yang tidak tahu apa itu DS.

Literatur juga masih sangat terbatas, sementara internet juga belum sebagus sekarang,” papar Noni yang kini menjadi Ketua POTADS. Dini dan Yani adalah ’pasien’ Noni.

”Mereka menemukan saya di internet dan kemudian kerap curhat melalui telepon. Curhatnya bermacam-macam, mulai dari rasa tidak percaya, penolakan, rasa malu, merasa bersalah, sampai khawatir tidak bisa mengasuh dengan benar,” kata Noni.

Melalui POTADS, Noni menggalang kesadaran orangtua yang memiliki anak DS agar saling memberi dukungan dan saling menguatkan.

Dia mengajak orangtua yang aktif terlibat dalam kepengurusan, aktif menjadi agen penyebar informasi tentang DS baik melalui sarana komunikasi berupa telepon, internet, maupun melalui ajang kopi darat dengan para anggota.

”Kami menyebut apa yang kami lakukan ini dengan MLM hati. Sebab tanpa hati, mustahil aktivitas ini dapat berjalan,” tutur Yani.

Menurut Noni, menguatkan orangtua yang memiliki anak DS, sangat penting. Tanpa itu, orangtua memiliki kecenderungan tidak memedulikan anak DS mereka.

Setelah orangtua, penguatan juga harus dilakukan terhadap anak-anak lainnya di dalam keluarga, termasuk kerabat di sekitar mereka.

Jika keluarga besar telah memiliki sikap positif, perkembangan anak-anak DS dipastikan akan lebih baik.

Noni dan para pengurus berharap, respons positif bisa tumbuh semakin baik sehingga anak-anak DS kelak dapat hidup mandiri dan bahagia dalam keterbatasan yang ada. 

Sementara itu, dukungan POTADS kini telah melintas berbagai belahan Nusantara.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bahagia Bersama Anak Berkromosom Ganda", Klik untuk baca: https://health.kompas.com/read/2014/10/19/150000123/Bahagia.Bersama.Anak.Berkromosom.Ganda?page=all.

SumberKOMPAS.com
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm