Peneliti CIPS juga menemukan kalau program pupuk bersubsidi sendiri perlu diievaluasi efektivitasnya karena belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, misalnya saja beras.
Dengan porsi anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020, reformasi kebijakan pupuk nasional cukup mendesak untuk dilakukan, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap.
Untuk itu, lanjut Azizah, alih-alih memberikan subsidi, pemerintah sebaiknya membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada petani untuk bisa mengakses pupuk nonsubsidi dan pupuk bersubsidi (untuk mereka yang masih menerima bantuan). Dengan demikian diharapkan petani bisa menggunakan pupuk sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam konteks gula, revitalisasi pabrik –pabrik gula juga perlu terus dilakukan, salah satunya bisa didorong lewat mekanisme investasi yang berkelanjutan. Pengembangan riset untuk mendukung proses produksi yang efisien juga perlu terus dilakukan.
Untuk diketahui rencana pemberian subsidi sebelumnya mencuat usai pertemuan Zulhas dengan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) pada Jumat (8/11/2022) pekan lalu.
Sebelumnya APTRI juga telah mengusulkan agar pemerintah menaikkan acuan harga pembelian gula tani dari saat ini Rp 11.500 per kilogram menjadi Rp 12.500 per kilogram.
Usulan acuan tersebut didasarkan tingginya biaya produksi gula akibat tingginya harga pupuk nonsubsidi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Subsidi Gula Petani Rp 1.000 Per Kg Dinilai Tidak Efektif Redam Kenaikan Harga", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2022/07/11/220000826/subsidi-gula-petani-rp-1.000-per-kg-dinilai-tidak-efektif-redam-kenaikan-harga?page=all#page2.