Mereka merasa akhirnya mendapatkan kuasa yang sebelumnya tidak dimiliki, kemudian menggunakannya dengan cara yang diketahui.
Sebaliknya, anak perempuan akan tumbuh dengan mental yang bermasalah, sehingga cenderung jadi korban kekerasan pasangannya.
"Mereka menjadi merasa wajar jika dipukul, direndahkan karena tidak bisa memuaskan suami karena tidak cantik, tidak bisa masak dan lain lain," ujar dia.
Selain itu, biasanya perempuan korban KDRT juga akan merasa rendah diri dan kurang mengapresiasi diri.
Untuk berbagai kesalahan dan kekurangannya itu, kemudian ada perasaan lumrah ketika mendapatkan hukuman baik kekerasan maupun pelecehan.
Bentuk KDRT sendiri tidak melulu dilakukan secara fisik yang meninggalkan bekas luka di tubuh.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan ada empat jenis kekerasan yaitu fisik, psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga.
Jika kekerasan fisik relatif mudah dibuktikan, tiga jenis lainnya masih kurang mendapatkan perhatian.
Padahal tindakan berupa kata-kata menyakitkan, perselingkuhan, dan larangan bekerja juga termasuk kekerasan keluarga.
Jika dilakukan berulang-ulang, dampaknya sangat fatal dan bisa menyebabkan stres serta trauma.
Efeknya juga menyerang ke kondisi fisik seseorang seperti penyakit maag dan insomnia.
Jika sudah demikian, Nurma menyarankan untuk melakukan visum psikiatrikum untuk membuktikan luka mental yang dialami.
Bukti ini kemudian bisa dipakai untuk melaporkan tindakan KDRT yang dialami ke pihak berwajib.
Ya, semoga saja kita semua tidak pernah mengalami kdrt ya!
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Anak Korban KDRT Cenderung Tumbuh sebagai Pelaku KDRT, Benarkah?", Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/08/182009420/anak-korban-kdrt-cenderung-tumbuh-sebagai-pelaku-kdrt-benarkah?page=all.