“Di mana-mana juga, di Eropa juga sama aja. Di Amerika juga sama. Bukan hanya kita. Orang yang percaya astrologi itu bukan monopoli kita. Di mana-mana sampai sekarang masih percaya. Kalau saintis umumnya enggak percaya. Apalagi astronomer,“ tegas Taufik.
Mengapa astrologi menjadi populer di Indonesia?
Peneliti Alifia Amri mengatakan bahwa tak heran jika Indonesia masuk ke dalam negara tiga besar yang suka mencari informasi mengenai astrologi. Sebab dalam budaya Jawa, ada pula sistem yang serupa.
"Di budaya kita juga ada, weton. Tapi weton dan astrologi itu sangat berbeda, karena menurut saya, punya kompleksitas yang berbeda. Dan menurut saya, weton jauh lebih sakral,“ kata Alif.
Weton merupakan sistem hitungan hari dalam budaya Jawa yang memberi makna pada suatu peristiwa yang terjadi pada hari tertentu. Kalendar tradisional Jawa digunakan untuk meramal dan menelaah terjadinya peristiwa tersebut dalam suatu siklus hari.
Pada dasarnya, weton membaca kejadian dari fenomena atau tanda-tanda alam yang telah terjadi sebagai panduan untuk memahami setiap peristiwa yang akan terjadi.
Mirip dengan astrologi, weton juga bisa digunakan untuk menentukan watak seseorang berdasarkan hari lahir, dengan istilah-istilah hari kalendar Jawa seperti Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Meski menurut Alif, astrologi dan weton jauh berbeda dari segi perhitungan dan unsur budaya, hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejak awal memiliki kecenderungan untuk menggunakan pola berpikir magis.
“Dalam antropologi terdapat tiga cara berpikir: ada magical thinking, ada scientific thinking, dan ada religious thinking. Memang tidak menekankan kausalitas seperti sains, ada sebab-akibat. Tapi magical thinking ini menekankan korelasi.
“Di Indonesia kalau saya perhatikan, lebih cenderung dua-duanya hidup berdampingan. Ada tendensi (orang Indonesia) menggunakan moda berpikir magis,” kata Alif.
Senada, dosen Antropologi Agama, Imam Ardhianto, mengatakan bahwa konsep membaca rasi bintang untuk meramal kejadian sudah lama ada di budaya Indonesia. Namun, biasanya digunakan oleh nelayan dalam konteks melaut.
Terkait fenomena astrologi yang kini populer di media sosial, menurut Imam hal tersebut merupakan produk globalisasi yang muncul dari percampuran budaya. Awal mula munculnya astrologi di Indonesia pun, tambahnya, berupa kolom horoskop di majalah dan media asing.
“Jadi astrologi bisa jadi salah satu bagian itu, karena itu bagian yang berhubungan juga dengan pinjam-meminjam ide dan gagasan, bisa dari India, bisa dari Afrika, bisa dari Amerika Latin, astrologi ada di situ,” ujar Imam.
Sepengetahuan dia, astrologi juga dekat dengan apa yang disebut dengan New Age Culture, yaitu budaya yang berkembang sejak awal abad ke-20 dan tumbuh populer pada fase-fase tertentu seperti di era Hippies dan lainnya.
“Orang ingin melihat bahwa hubungannya dengan alam, nasibnya sendiri itu tidak hanya dijelaskan dengan kerangka institusi-institusi yang dominan seperti agama dan negara.
“New age culture itu berjalan seiring dengan kolonialisme. Jadi ada di Indonesia namanya teosofi, aliran keagamaan yang mencampurkan ragam kepercayaan dan konsepsi mengenai roh, cakra, spirit, jadi agak mix match,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan astrologi hanya merupakan satu dari berbagai ‘kepercayaan’ yang dinilai irasional, namun populer di kalangan perkotaan. Atau yang ia sebut dengan istilah kosmopolit.
“Kosmopolit dalam artian dia berasal dari berbagai sumber peradaban. Astrologi merupakan satu bagian saja. Misalnya juga, orang-orang yang suka astrologi juga melakukan hal spiritual lainnya seperti yoga, meditasi dan sebagainya,” ungkap Imam.
Astrologi sebagai cara mencari validasi
Dosen Antropologi Agama, Imam Ardhianto, menyebut astrologi beserta segala bentuk divinasi atau ramalan erat kaitannya dengan cara manusia mengidentifikasi diri.
”Divinasi menunjukkan kamu itu sebenarnya begini karakternya. Dan kamu akan cocok dengan bintang yang ini, Ketika itu tidak terjadi, maka ada yang salah. Itu dianggap devian dan menyimpang,” ujar Imam.
Sehingga, walau ramalan yang dikatakan itu tidak menjadi nyata karena satu atau lain hal, orang yang percaya akan turut memberikan justifikasi terhadap kondisi itu agar menjadi benar.
“(Orang anggap) sebenarnya Virgo seharusnya begini. Tetap diyakini dan tidak menggugurkan keyakinan dan pengetahuan dia, Virgo seharusnya begini ke depan. Atau saya beruntung karena saya Virgo,” katanya.
Kemungkinan lain adalah, sambungnya, orang itu akan menjadikan sifat-sifat zodiak sebagai acuan cara berperilaku yang seharusnya. Dalam arti, sifat-sifat yang tertanam dalam zodiak menjadi aspirasi atau keinginan seseorang dalam membentuk jati dirinya.
“Sebenarnya itu memberikan tawaran mengenai bagaimana orang seharusnya harapannya dan aspirasinya untuk menjadi seperti apa. Jadi ketika dia merasa bahwa dia Virgo. Oh mungkin karena saya Virgo jadi sifat saya begini, atau ke depan yang Virgo mungkin akan begini,” ungkap Imam.
Hal ini dirasakan oleh Nana yang mengatakan astrologi telah membantunya untuk lebih mengenal diri sendiri dengan lebih baik. Sifat-sifatnya - baik yang baik maupun buruk - dapat ia terima setelah membaca zodiak.
“(Kadang) kita sulit menerima diri kita sendiri dan akhirnya enggak mengenal diri kita yang sebenarnya. Tetapi, astrologi membantu saya untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik,” ujar Nana.
Peneliti divinasi digital, Alifia Amri, mengatakan bahwa pada dasarnya semua manusia membutuhkan validasi. Karena dalam konteks astrologi, ramalan itu memberikan kesan adanya ‘kepastian dalam menghadapi ketidakpastian’.
Selain itu, ada pula orang-orang yang menggunakan stereotip-stereotip watak astrologi untuk mencoba meraba karakter seseorang yang belum ia kenal. Sehingga, ia bisa mencoba memprediksi seperti apa sifat mereka dan apakah mereka bisa akrab dengan orang itu.
“Misalnya, kamu lagi enggak pede atau ada kenalan baru. Terus kamu cari tahu zodiak-nya gitu. Sebenarnya coping mechanism ini jatuhnya ke poin validasi juga,” ungkapnya.
Menurut Alif, terlepas dari apakah bisa dibuktikan secara faktual atau tidak, zodiak dapat membantu seseorang untuk mengenal diri sendiri sekaligus mengembangkan diri. Sebab, kita menjadi sadar akan perilaku dan sifat-sifat kita.
“Jadi tidak cuma untuk diri sendiri, tapi juga bagi orang lain. Tapi perlu diketahui, bahwa itu enggak bisa meramal apa yang akan terjadi, tapi lebih untuk meningkatkan kesadaran.”
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kenapa Gemini Menyebalkan dan Awal Mula Zodiak Populer di Indonesia", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2023/04/09/140500570/kenapa-gemini-menyebalkan-dan-awal-mula-zodiak-populer-di-indonesia?page=all#page2.