“Jadinya makin getol pelajari astrologi, karena sekarang aku lihat pola di mana-mana,” kata Çanti.
Pada 2019, ia mengikuti kuliah online di Australia selama setahun sebelum melanjutkan studinya di London School of Astrology untuk program diploma.
“Ada hitung-hitungannya dan ada rumusnya. Kami juga belajar contoh nyata. Jadi kita melihat birth chart selebritas atau figur publik, lalu kami bandingkan dengan kejadian-kejadian dalam hidup mereka,“ kata Çanti.
Selain itu, sambungnya, ada pula kode etik yang harus diikuti astrolog. Di antaranya, mereka tidak boleh memprediksi kapan seseorang akan meninggal, tidak boleh mengatakan suatu ramalan itu 100 persen akan terjadi, dan tidak boleh berprasangka atau menghakimi klien mereka.
“Kami harus berempati dan peduli dengan mereka. Kami harus mendengarkan klien, karena mereka yang menjalani hidup itu, keputusannya di tangan mereka,“ ujarnya.
Ia merasa bahwa selama ini masyarakat umum terlalu sering mengeneralisir atau bahkan menstereotip orang berdasarkan bintang zodiak mereka.
Sebab, masing-masing dari 12 zodiak memiliki kumpulan sifat yang melekat dengan mereka. Padahal menurut Çanti, sifat seorang tidak bisa ditentukan semata oleh sun sign-nya.
“Orang kadang bilang Gemini itu nyebelin, kalau seterotip bagusnya mereka friendly, tapi ada yang chaotic. Libra itu bucin, Pisces itu halu. Virgo perfeksionis pasti dibilangnya,” kata Çanti yang menyebutkan beberapa stereotip populer.
Menurut dia, memang manusia mempunyai kecenderungan untuk mengeneralisasi orang lain berdasarkan pola-pola tertentu.
Kebetulan saja, astrologi merupakan salah satu sarana untuk mengelompokkan orang. Tetapi, ia sendiri merasa itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan tolok ukur.