"Dari pemodelan cuaca yang kami dapatkan, El Nino diprediksi terjadi pada Agustus 2023 meski ketidakpastian tingkat keparahan El Nino masih sangat tinggi," ucap dia.
Luhut kemudian mengingatkan, belajar dari pengalaman pada 2015 yang terjadi di Indonesia, El Nino berpotensi mengakibatkan kekeringan yang luas serta kebakaran hutan dan lahan di beberapa daerah.
Hal tersebut, menurut dia, berkorelasi terhadap turunnya produksi pertanian dan pertambangan berdasarkan data IMF.
Belum lagi dampak luas terhadap inflasi Indonesia dikarenakan besarnya kontribusi inflasi pangan terhadap inflasi keseluruhan. Hal ini terjadi karena diperkirakan 41 persen lahan padi mengalami kekeringan ekstrem di tahun tersebut.
Data World Food Programme bahkan menyebut bahwa tiga dari lima rumah tangga kehilangan pendapatan akibat kekeringan. Satu dari lima rumah tangga harus mengurangi pengeluaran untuk makanan akibat kekeringan.
"Untuk itu, kami akan bersiap dalam kondisi yang paling ekstrem sekalipun. Saya meminta seluruh kementerian/lembaga terkait juga pemerintah daerah mulai bersiap sejak dini," ucap Luhut.
"Memperhitungkan segala langkah yang mesti ditempuh agar pengalaman buruk delapan tahun lalu tidak terulang kembali. Setidaknya sejak saat ini kami menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata menghadapi El Nino," papar dia.
Pada akhir penjelasannya, Luhut mengajak semua pihak tetap waspada dan saling menjaga di masa-masa sulit seperti ini.
"Sehingga kerugian yang terjadi akibat peralihan cuaca bisa kita reduksi bersama demi kemaslahatan masyarakat Indonesia seluruhnya," kata dia.
Pemerintah siapkan "senjata" teknologi modifikasi cuaca