Misalnya, keluhan berupa "dikerjakan dengan setengah hati dan akhirnya harus dikerjakan ulang", serta "dia kurang kesadaran untuk memperhatikan dan melakukan tugas-tugas lain".
"Tanpa gambaran lengkap tentang pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, mustahil melihat pekerjaan rumah yang bahkan tidak ada namanya. Suami diharapkan lebih sadar akan perannya dalam rumah tangga," tulis lembaga penelitian tersebut.
Banyak wanita tak mau memikul beban istri dan ibu
Di sisi lain, Perdana Menteri Fumio Kishida sempat memperingatkan bahwa Jepang berada di ambang tidak mampu mempertahankan fungsi sosial sebagai akibat dari krisis demografi.
Populasi di wilayah ini menyusut pada tingkat mengkhawatirkan, yang menandakan krisis ekonomi dan sosial akan segera terjadi.
Dikutip dari Japan Times, Jumat (27/1/2023), penyebab krisis ini adalah wanita yang tidak bahagia dengan pilihan hidupnya, lebih memilih untuk tetap melajang atau tidak mau memikul beban yang timbul sebagai istri dan ibu.
Data pemerintah menunjukkan, wanita menikah yang memiliki anak kecil rata-rata menghabiskan lebih dari tujuh jam sehari untuk mengurus rumah tangga tanpa bayaran, atau sekitar empat kali lipat dibandingkan laki-laki.
Bahkan, saat suami mendukung dan mencoba mengurangi beban, wanita tetap menghadapi hambatan.
Wanita diharapkan untuk menikah dan memulai sebuah keluarga. Namun, wanita yang bekerja pun diharapkan melakukan sebagian besar tugas rumah tangga.
Oleh karenanya, wanita di negara ini cenderung menginginkan lebih banyak kendali atas hidup dan lebih banyak kesetaraan dengan laki-laki dalam hal pekerjaan dan rumah tangga.
Meski permintaan ini tergolong tidak terlalu besar, pemerintahan Jepang selama beberapa generasi telah gagal mewujudkannya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "55,3 Persen Wanita Jepang Tak Puas dengan Suami, Apa Alasannya?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2024/01/14/130000065/55-3-persen-wanita-jepang-tak-puas-dengan-suami-apa-alasannya-?page=all#page2.