Dalam putusan banding, Helena kata dia justru dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada terdakwa sebesar Rp 900 juta.
"Helena dan Harvey Moeis sama sekali tidak memiliki mens rea (niat jahat) untuk menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 317 triliun. Kerugian tersebut hanya berdasarkan perkiraan BPKP yang bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara," jelas Romli.
Sementara itu di sisi lain, Pakar Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono menilai kasus ini seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana korupsi.
"Kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan. Penyelesaian yang tepat adalah melalui gugatan perdata, bukan Tipikor," ujar Yoni.
Menurut Yoni, UU Lingkungan Hidup Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap subjek hukum lain, termasuk warga negara dan badan hukum.
"Ini pertama kalinya pemerintah memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perdata. Hitungan kerugiannya pun sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2014," jelasnya.
Yoni menjelaskan, jika tujuannya adalah untuk mengembalikan kerugian negara atas dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah ini, jalur perdata lebih memungkinkan.
Terlebih jika nilai kerugian negara masih belum jelas dan masih diperdebatkan.
"Kalau kerugiannya belum jelas, mengapa dibawa ke pidana korupsi? Ini keliru. Jangankan (divonis) 20 tahun, hukuman 6,5 tahun (Harvey Moeis) pun tidak tepat," tegasnya.
Yoni menyarankan agar upaya hukum lanjutan dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA).