Protokol yang dijalankan sebatas aturan saja, menyisakan ‘celah-celah jalan tikus’ untuk dilanggar bahkan dipelintir sedemikian rupa.
Mulai dari cara memakai masker versi turun-naik: turun dari hidung hingga dagu, lalu dinaikkan lagi saat razia tiba. Tak jauh beda dengan pemakaian helm yang lebih mirip topi asal nempel, boro-boro melindungi tengkuk, apalagi dikencangkan dengan kait yang benar.
Sama juga seperti supir taksi yang pernah saya lihat menarik sabuk pengaman seakan-akan dia sedang mengenakannya saat lewat di jalan protokol, tapi begitu masuk jalan kecil dilepaskan lagi dengan alasan sabuk itu ‘bikin begah’ – karena perutnya besar.
Tidak banyak yang menyadari bahwa untuk bisa menjadi kritis dan bergejala, dibutuhkan waktu tertentu minimal hingga jumlah virusnya – viral load – cukup banyak. Mirip seperti nakes yang tak mampu bertahan hidup, karena setiap hari terperangkap dalam ‘kerumunan virus’ di ruang rumah sakit. Yang telah bergejala pun, dengan situasi seperti sekarang, jarang ada yang mau ke rumah sakit. Mereka bahkan takut dites dan ternyata positif tertular. Sementara di luar sana, ramai orang berjualan jurus-jurus mujarab penangkal virus.
Mengandaikan kasus tertular Covid-19 tapi ‘tidak sampai masuk Rumah sakit’, merupakan cara gegabah menilai virulensi suatu penyakit menular yang sudah jadi pandemi.