SonoraBangka.id - Membaca merupakan suatu proses membangun pemahaman dari teks yang tertulis.
Namun, dari tahun ke tahun, budaya membaca di Indonesia termasuk yang paling rendah.
Padahal, membaca merupakan inti dari pendidikan.
Satria Dharma, Penggagas Gerakan Literasi Sekolah mengatakan, perlu ada kesadaran akan pentingnya penguasaan literasi membaca sejak dini, oleh semua pihak.
Dikatakannya dalam virtual talkshow “manfaat Storytelling untuk Perkembangan Karakter Anak” (30/9/2020), bahwa anak yang tiap hari sekolah tapi tidak membaca, sebenarnya dia tidak mendapat pendidikan.
Tidak ada gunanya guru berbicara dan mengajar setiap hari, karena dengan hanya mendengar maka anak-anak tidak mendapat pendidikan.
Satria Dharma menganggap, dampak dari budaya literasi yang rendah, bisa dilihat dari status Indonesia sebagai pengirim buruh migran terbesar.
Sementara itu, TKI Indonesia sudah mencapai 9 juta.
Ia juga menjelaskan bahwa, kita tidak mampu menggerakkan roda perekonomian negara kita sendiri dikarenakan kemampuan literasi kita rendah.
Literasi rendah juga mengakibatkan hoaks dan hate speech merajalela.
Menurut Dharma, sebenarnya anak-anak Indonesia memiliki minat baca yang sama besarnya dengan negara lain.
“Lalu apa masalahnya? Ternyata sejak kecil, dan selama sekolah, anak-anak Indonesia tidak diwajibkan membaca buku,” katanya.
Hal ini berbeda dengan negara-negara lain.
Dimana, siswa SMA di Thailand wajib membaca 5 judul buku sastra, di Amerika Serikat 32 judul buku.
“Di SMA Indonesia, 0 judul. Ini fakta yang sangat menyakitkan. Jadi anak-anak kita rabun membaca dan tidak menulis. Prestasinya rendah. Dari 41 negara, kita hanya peringakt 39 PISA,” ujar Dharma.
Maka dari itu, orangtua harus ditantang untuk membacakan buku bagi anak sedini mungkin.
Bahkan, menurut Dharma, sebelum anak masuk sekolah TK, idealnya anak sudah dibacakan 1.000 buku.
“Sehari satu buku tipis, dalam 5 tahun kan sudah 1.500 buku. Anak-anak memang harus ditantang untuk membaca. Bukunya juga bisa diulang-ulang lagi dibaca, tidak harus baru,” katanya.
Dengan membaca, maka dapat meningkatkan ikatan emosional dengan orang tua, mengajarkan anak bersosialisasi secara positif melalui cerita, mengembangkan daya imajinasi, hingga meningkatkan keterampilan bahasa.
Itulah mengapa, membaca menjadi kunci penting dalam pendidikan.
Kompetisi membaca
Head of Early Childhood Education and Development Tanoto Foundation, Eddy Hendry, menjelaskan, bicara soal literasi sebenarnya bukan hanya kemampuan membaca tapi juga memahami membaca.
Oleh karena itu, Tanoto Foundation mengadakan lomba foto #MomenBacaBersama, untuk mendukung percepatan ketertinggalan tersebut, dan sebagai inisiator gerakan literasi “Indonesia Cinta Membaca”.
Kompetisi itu berlangsung mulai 10 September sampai 22 Desember 2020.
Eddy juga mengatakan, bahwa saat ini belum banyak diterapkan kebiasaan membaca di usia dini.
Apalagi sekarang anak-anak lebih akrab dengan gadget, dan kebiasan mendongeng juga berkurang.
Ia berharap agar ada gerakan literasi Indonesia Cinta Membaca, memastikan agar anak-anak punya kebiasaan membaca usia dini..
Di negara-negara maju, minat baca sudah dimulai jauh sebelum mereka bisa membaca.
Hasilnya, anak-anak yang suka membaca tidak memiliki kesulitan ketika bersekolah.
Menurut Eddy, membaca adalah salah satu stimulasi untuk memaksimalkan perkembangan otak anak.
Namun sebaliknya, anak yang tidak suka membaca ternyata dikaitkan dengan tingkat kriminalitas yang cenderung lebih tinggi ketika mereka dewasa.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Anak Indonesia Tertinggal dalam Kemampuan Membaca", Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2020/10/01/104329620/mengapa-anak-indonesia-tertinggal-dalam-kemampuan-membaca?page=2.