Lama-kelamaan, banyak orang yang mengikuti jejak Indra menjadi pemulung.
Dari pemulung biasa, Indra pun menjadi koordinator pemulung, yang lalu membuat mesin pencacah sampah dan tempat untuk pengolahan sampah menjadi lebih berdaya guna. “Saat ini ada 70 pemulung yang dibina.
Mereka memulung sampah di Citarum dengan menggunakan 30 perahu yang kami miliki,” ucap ayah dari tiga orang anak ini.
Hasil yang diperoleh pemulung beragam. Musim hujan seperti sekarang, pemulung rata-rata memulung 70-150 kilogram sampah per hari.
" Sampah tersebut dihargai Rp 1.300-1.500 per kilogram," ungkap Indra.
Kerajinan tangan
Seiring berjalannya waktu, Indra terus melakukan pemberdayaan masyarakat.
Salah satunya lewat eceng gondok. Saat ini luasan eceng gondok di Citarum mencapai 80 hektar.
Hal itu jelas mengkhawatirkan. Sebab, eceng gondok bisa mengurangi jumlah oksigen dalam air, sedimentasi, mengurangi jumlah air, dan mengganggu lalu lintas di perairan.
Untuk itulah, ia bersama pemulung lainnya mengambil sampah dan eceng gondok, kemudian mengelolanya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dan bernilai.
“Tapi untuk eceng gondok tidak semua diambil.
Karena eceng gondok juga berfungsi menangkap polutan logam berat dalam air,” ungkap dia.
Eceng gondok ini disulap menjadi produk berpola zero waste atau nol sampah.
Batangnya dibuat kerajinan, akar menjadi media tanaman, dan bagian sisa lainnya dibuat briket hingga pupuk organik cair.
Sebagai bagai kerajinan, Indra memberdayakan para istri pemulung.
Mereka membuat tas, keranjang, sandal, tempat tissue, hingga gazebo, dari batang eceng gondok. Harganya mulai dari sekitar Rp 25.000.