Wajar saja apabila anak-anak mengidolakan dan menirukan tingkah polah orang tuanya, baik dari ucapan maupun perilaku. Apalagi bila yang mencontohkan adalah tokoh idola mereka.
Begitu juga apabila yang menjadi follower para selebritas ini adalah anak-anak dan remaja, yang umumnya masih mencari identitas (menurut teori psikologi dari Erik Erikson).
Para orang dewasa juga masih dapat terjadi, terutama apabila mereka belum selesai dengan permasalahan identitas dan berkiblat pada para idola mereka.
Apakah para pembuat konten tega menjerumuskan para follower mereka, demi ketenaran dan materi?
Ini semua tergantung pada para pembuat konten itu sendiri.
Saya tidak bisa memastikan satu-per satu, kecuali saya membuat penelitian tersendiri mengenai hal ini, atau mungkin dengan mewawancarai para selebritas atau pesohor tersebut.
Film dan lagu
Di sisi lain, kita saat ini juga diramaikan dengan berita viral mengenai sebuah sinetron Indonesia mengenai poligami, yang dibintangi oleh anak berusia 15 tahun.
Tentunya ini bukanlah contoh yang baik untuk masyarakat luas.
Apabila pembuat sinetron berkilah bahwa film tersebut tidak akan membawa dampak serius bagi masyarakat, maka hal ini menurut saya salah besar.
Sudah banyak kejadian, di mana film atau lagu membuat orang terinspirasi untuk melakukan hal yang tidak pantas.
Sebagai contoh film "The Town" justru menginspirasi orang-orang tertentu untuk merampok.
Lagu "Gloomy Sunday" juga dipercaya sebagai lagu pengantar orang melakukan bunuh diri, terutama di Hungaria, sebelum perang dunia kedua. Masih banyak contoh film dan lagu lainnya.