Lantaran mengalami presesi seiring perkembangan zaman, maka beberapa zodiak pun bergeser dari bidang ekliptika, termasuk Ophiuchus.
Presesi sendiri merupakan gerak Bumi yang seperti gasing, menunduk dan mendongak ke arah bintang kutub tertentu.
Menurut dia, presesi memiliki dua efek, yakni mengubah bintang kutub dalam jangka waktu lama, serta menggeser posisi zodiak dari titik sebelumnya.
"Dan selang beberapa ribu tahun setelahnya, barulah Ophiuchus terlihat muncul kembali di ekliptika," ungkapnya.
Lebih lanjut Andi menjelaskan, saat belum ditetapkan batas konstelasi oleh Uni Astronomi Internasional (IAU), baik para astronom maupun astrolog membagi ekliptika menjadi 12 bagian sama rata.
Dengan begitu, setiap zodiak mempunyai porsi sebesar 30 derajat. Ketentuan ini pun masih dipertahankan sampai sekarang dan bertujuan untuk menyatakan posisi benda-benda langit.
"Itu (menentukan posisi benda langit) selain menggunakan nilai bujur ekliptika, juga menggunakan zodiak," terang Andi.
"Dalam satu zodiak, dulu sebelum ditemukan batas, itu bisa mencapai 30 derajat. Jadi setelah lewat dari 30 derajat akan berganti ke zodiak berikutnya," lanjutnya.
Tapi kini, beberapa pakar mengusulkan batas-batas konstelasi atau rasi bintang, tetapi cuma segelintir yang menggunakannya.
Sebab, menurut Andi, batas-batas baru ini akan membuat wilayah atau porsi setiap zodiak berbeda dan tidak rata.