SonoraBangka.ID - Rencana pemerintah untuk membedakan tarif kereta rel listrik (KRL) masih menjadi polemik di masyarakat.
Meski kabar itu sudah tersiar sejak akhir Desember lalu, rencana kebijakan baru ini masih dikritik oleh sejumlah pengguna KRL, salah satunya adalah Fida (25).
Kepada Kompas.com, Senin (2/1/2023), Fida mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan rencana untuk membedakan tarif KRL bagi yang mampu dan tidak mampu.
"Kalau misalnya nanti jadi Rp 10.000-Rp 15.000 per perjalanan, ya mending dibuat beli bensin kali," ujarnya.
Sebab, imbuh Fida, biaya yang akan dikeluarkan untuk perjalanan pergi-pulang (PP) bisa mencapai kisaran Rp 20.000-Rp 30.000.
Oleh karena itu, Fida tidak setuju dengan rencana tersebut.
"Udah bagus kita naik kendaraan umum, daripada nanti kalau dinaikin tarifnya, 'si kaya' bisa pindah haluan ke motor atau mobil dan bikin macet nantinya," ucap Fida.
Ia juga mempertanyakan cara pemerintah untuk membedakan "si kaya" dan "si miskin" di kalangan pengguna KRL.
"Masih rancu 'si kaya' ini sebatas mana. Kayak, pendapatannya yang lebih dari Rp 7 juta atau gimana?" tutur Fida.
Terkait penggunaan kartu khusus, Fida menilai, hal tersebut dapat menimbulkan strata sosial.
Pengguna KRL yang turut menyuarakan penolakan adalah Nico (27).
Menurut dia, membedakan tarif bagi yang mampu dan tidak mampu tidak perlu dilakukan.
"Enggak perlu. Langgar prinsip kesetaraan. Kenapa hal yang udah efektif dibuat polemik sih?" paparnya.
Nico pun meminta pihak yang berwenang, termasuk pihak KRL, untuk menjelaskan maksud dari rencana tersebut.
Senada dengan Fida dan Nico, Dharma (20) juga mengatakan hal yang serupa.
Ia menyarankan agar tarif tidak perlu dibedakan bagi pengguna KRL yang dianggap mampu dan tidak mampu.
"Kenapa harus dibedain? Kasian yang kurang mampu jadi merasa terlalu direndahin karena tarifnya enggak dinaikin, tapi kalau dinaikin juga kasian," Dharma berujar.
Menurutnya, rencana yang diskriminatif ini perlu dipertimbangkan lantaran nantinya semakin memperbanyak pengeluaran pengguna KRL.
"Misalnya jadi Rp 10.000-Rp 15.000, itu juga lumayan walau buat yang mampu. Soalnya uang enggak cuma buat keperluan naik KRL, ada kebutuhan lainnya," jelas Dharma.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana untuk menerapkan subsidi silang dalam tarif KRL Jabodetabek.
Wacana ini dituturkan oleh Menhub Budi Karya Sumadi dalam sebuah konferensi pers, Selasa (27/12/2022).
Ia mengatakan, tarif KRL akan disesuaikan supaya subsidi lebih tepat sasaran.
”Dalam diskusi kemarin dengan Pak Presiden, kita akan pilah-pilah. Mereka yang berhaklah yang mendapatkan subsidi. Jadi, mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar, dengan membuat kartu,” kata Budi dalam Jumpa Pers Akhir Tahun di Jakarta.
Sebagai informasi, tarif asli KRL adalah sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 untuk sekali perjalanan.
Namun, pemerintah pusat mengalokasikan subsidi pada kebijakan tarif yang sudah berlaku sekotar 5 tahun terakhir itu.
Walhasil, pengguna KRL di Jabodetabek hanya perlu membayar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama, dan Rp 1.000 untuk setiap 10 km berikutnya.
Budi mengatakan, pihaknya berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo akan memilah-milah mereka yang lebih berhak untuk mendapat subsidi tarif KRL.
Dengan begitu, kata dia, masyarakat yang memiliki kemampuan finansial lebih baik akan membayar lebih besar dari tarif normal KRL.
Menurut Budi, langkah ini bisa membuat subsidi lebih tepat sasaran.
"Jadi mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar dengan membuat kartu mereka yang bisa membayar karena kalau itu berhasil subsisi itu bisa kita berikan kepada sektor yang lain," ucap dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.