SonoraBangka.id - Sekarang ini sedang tren dan jadi sorotan terkait dengan perayaan kelulusan dengan acara wisuda pada TK, SD, SMP dan SMA.
Banyak orang tua yang memprotes wisuda TK SD SMP dan SMA ini karena dinilai memberatkan.
Sebenarnya apa itu wisuda dan bagaimana sejarah awal mulanya?
Ternyata kata wisuda berasal dari Bahasa Jawa ‘wisudha’ yang berarti pelantikan bagi orang yang telah menyelesaikan pendidikan.
Adapun prosesi wisuda identik dengan memakai toga.
Dikutip dari Tribun Jambi toga adalah pakaian resmi yang dipakai dalam seremoni atau upacara wisuda .
Tak hanya itu, dibalik bentuknya yang aneh, toga juga mempunyai sejarah serta filsafat yang cukup panjang.
Kata toga berasal dari tego, yang dalam bahasa latin bermakna penutup.
Biarpun umumnya dikaitkan dengan bangsa romawi, toga sesungguhnya berasal dari sejenis jubah yang dikenakan oleh pribumi italia, yaitu bangsa etruskan yang hidup di italia sejak 1200 sm.
Kala itu, bentuk toga belum berbentuk jubah, namun sebatas kain sepanjang 6 meter yang cara menggunakannya sebatas dililitkan ke tubuh.
Walau tak praktis, toga adalah satu-satunya pakaian yang dianggap pantas waktu seseorang berada di luar ruangan untuk menutupi tubuh mereka.
Sejarah toga sesudah itu berkembang di romawi waktu toga dijadikan busana orang-orang romawi.
Waktu itu toga adalah pakaian berupa sehelai mantel wol tebal yang dikenakan sesudah mengenakan cawat atau celemek.
Toga diyakini telah ada sejak era numapompilius, Raja Roma yang kedua.
Toga ditanggalkan bila pemakainya berada di dalam ruangan, atau bila melakukan pekerjaan berat di ladang, tetapi toga dianggap satu-satunya busana yang pantas bila berada di luar ruangan.
Seiring berjalannya waktu, pemakaian toga untuk busana sehari-hari perlahan mulai ditinggalkan. Namun tidak bermakna toga hilang begitu saja.
Sebab sesudah itu bentuknya dimodifikasi menjadi sejenis jubah.
Akhirnya modifikasi itu mengangkat derajat toga dari pakaian sehari-hari menjadi pakaian resmi seremonial yang mana diantaranya yakni seremonial wisuda.
Di negeri barat, kostum kelulusan hanya disebut gown.
Sementara topi berbentuk bujur sangkar disebut mortarboard.
Ada juga yang menyebutnya graduate cap dan black cap.
Banyak peneliti meyakini mortarboard merupakan pengembangan dari biretta, yakni topi yang dikenakan oleh pendeta Katolik Roma.
Biretta sendiri terinspirasi dari bahasa Italia “berretto” (berasal dari kata latin “birrus” dan Yunani “pyrros”).
Di jaman Romawi sekitar abad 12 hingga 14, berretto sebagai ciri bagi kalangan pelajar akademik, seniman, dan humanis.
Walau demikian, paten mortarboard justru menjadi milik penemu dari Amerika Serikat, Edward O' Reilly dan imam Katolik, Joseph Durham di tahun 1950.
Mungkin karena dibentuk bujursangkar, serta penambahan komponen seperti besi di dalam mortarboard sehingga lebih kokoh.
Nyatanya, tak semua mortarboard dewasa ini memakai besi di dalamnya.
Sejak disahkannya paten tersebut, mortarboard dengan bentuk seperti yang kita lihat dewasa ini menjadi umum di seluas dunia.
Penambahan komponen tali pada mortarboard pun diduga berasal dari tradisi orang Amerika.
Di negara tersebut, semua jenis kelulusan dari tingkat sekolah dasar hingga SMA serta Universitas selalu memakai gown dan mortarboard.
Toga mempunyai arti filosofis yang kental, salah satunya yakni arti warna hitam pada toga.
Mengapa toga justru memakai warna hitam yang sering diidentikkan dengan perihal yang misterius serta gelap.
Ternyata pemilihan warna hitam gelap pada toga adalah simbolisasi yaitu misteri serta kegelapan telah berhasil dikalahkan sarjana waktu mereka menempuh pendidikan di bangku kuliahan.
Bukan hanya itu, sarjana diharapkan mampu menyibak kegelapan dengan ilmu pengetahuan yang selama ini didapat olehnya.
Warna hitam juga melambangkan keagungan.
Sebab itu, tak hanya sarjana, ada hakim serta separuh pemuka agama pula memakai warna hitam pada jubahnya.
Tak hanya warna pada jubah toga yang memuat filosofi mendalam.
Ada arti filosofis dari bentuk persegi pada topi toga.
Sudut-sudut persegi pada topi toga menyimbolkan seorang sarjana dituntut untuk berpikir rasional serta memandang segala sesuatu hal dari beraneka sudut pandang.
Tali pada mortarboard disebut juga dengan “tassel”.
Tidak semua tingkatan pendidikan di Amerika Serikat selalu memindahkan tassel dari kiri ke kanan, walau tassel menjadi aksesoris penting pada mortarboard.
Misalnya, untuk mahasiswa pascasarjana (S2) selalu membiarkan tassel di sisi kiri.
Warna tassel pun banyak ragamnya.
Pada tingkat Senior High (sebanding SMA) warna tassel terdiri dari tiga warna, salah satu menjadi warna sekolah tersebut (color identity).
Lalu di tingkat sekolah tinggi, mahasiswa yang lulus dengan gelar cum laude mengenakan tassel berwarna emas.
Mengapa pada kebanyakan upacara kelulusan (wisuda) tassel sering dipindahkan dari sisi kiri ke sisi kanan? Banyak pendapat mengenai ini, tanpa ada dasar yang pasti.
Ada pendapat menyebutkan, pemindahan ini mengartikan bahwa seorang mahasiswa saat masih belajar di universitas selalu menggunakan otak kiri.
Maka, setelah lulus pemindahan tassel ke sisi kanan dengan harapan saat terjun ke masyarakat, siswa tersebut juga menggunakan otak kanan.
Sementara pendapat lain menyebutkan ini hanya prosesi biasa.
Ada perbedaan di sini, tassel awalnya menggantung di sisi kanan. Ini artinya siswa masih berstatus candidate (calon kelulusan), dan ketika dipindahkan ke sisi kiri artinya sudah graduate (lulus).
Ada juga pendapat yang mengatakan pemindahan tassel sebagai arti bahwa mahasiswa yang lulus telah siap menyongsong hidup baru.
Wisuda TK, SD, SMP dan SMA di Indonesia di Protes
Kini acara wisuda TK, SD, SMP dan SMA yang belakangan seolah jadi tren di Indonesia jadi keluhan orangtua siswa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim banjir aduan dari para orang tua yang meminta agar wisuda dihapus saja.
Para orang tua siswa merasa keberatan dengan biaya acara wisuda yang digelar baik di tingkat TK sampai dengan SMA.
Ya, wisuda kelulusan yang digelar di tingkat TK, SD, SMP, dan SMA menuai sorotan belakangan ini.
Acara wisuda TK hingga SMA itu dipersoalkan karena biayanya dianggap membebani para orang tua.
Pengamatan Tribunnews.com, Jumat (16/6/2023), protes soal wisuda TK hingga SMA itu muncul di berbagai media sosial di antaranya di Facebook dan Instagram.
Di Instagram, protes dan keluhan soal wisuda TK hingga SD itu juga terlihat jelas di kolom komentar postingan Instagram Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.
Nadiem mengunggah soal anak-anak SMK yang berhasil tampil dalam ajang fashion di luar negeri di akun pribadinya, @nadiemmakarim.
Bukannya mengomentari postingan Nadiem, mayoritas netizen justru berkomentar soal wisuda di TK, SD, SMP, dan SMA yang dianggap tidak penting dan memberatkan orang tua.
Mereka meminta agar Nadiem menghapus kegiatan wisuda di tingkat SD hingga SMA.
"Minta tolong pak saya mewakili emak emak yg setiap menjelang kelulusan mengelu biaya wisuda yg mahal, tolong hapus wisuda mulai dari PAUD,,SD,SMP,SMA... Karena biaya nya terlalu berlebihan apalagi pakek acara wisuda di hotel segala,, biarkan wisuda ada di kampus kuliah saja.," tulis @syahrul.aul.
"hapus widusa disekolah pak buat daftar sekolah aja bingung. hapus korlas2 sekolah yang sering minta sumbangan ini." tulis @allin.rubainur.
Akun lainnya meminta agar acara wisuda hanya untuk mahasiswa.
"Mas menteri mohon di tanggapi... Hapus istilah wisuda/purna wiyata untuk anak TK, SD, SMP, SMA.... Wisuda hnya lulus kuliah aja...... Mohon liat wacana yg berkembang dj masyarakat mas menteri... .bnyk yg gak setuju," tulis @dian_ratna77.
"Bapak yang terhormat@nadiemmakarimselaku Menteri Pendidikan Indonesia yang terhormat. Kami selalu wali murid sangat keberatan dgn adanya Wisuda pada kelulusan tingkat TK, SD, SMP, SMA,. Wisuda biarkan saja pada Perguruan Tinggi. Rasanya tidak etis, jika kelulusan harus merogoh kocek yg tidak sedikit. sampai diadakan di Hotel maupun indoor luar kota.. itu pun kami jg harus menyiapkan uang pendidikan sekolah ke detil berikutnya untuk dana seragam maupun dana buku.. kami sangat berharap bapak mendengar suara kami, dan ribuan komentar di postingan IG akun bapak banyak yg protes dan merasa keberatan mengenai Wisuda. Kami sangat berharap bapak turun langsung, dan menindak tegas sekolah yang mengadakan wisuda. Kami juga sangat merasa senang apabila bapak mengeluarkan S. Edaran Larangan Mengadakan Wisuda baik tingkat TK sampai SLTA." tulis @luyamaharani.
Pada postingan Nadiem dua hari sebelumnya, keluhan soal wisuda TK-SMA ini juga disampaikan serupa.
"Hapuskan wisuda dr tk smp SMA..biaya sewa gedung ny mahal,blm tour ke bali atau jogja bagi yg tidak mampu d wajibkan byr walupun tdk ikut tour.smp orang tua mnjm2 uang kesana kesini smp ada yg pinjem rentenir," tulis @handayani2382.
Selain itu masih banyak komentar lainnya yang keberatan dengan wisuda SD, SMP, dan SMA.
Meski akun Instagramnya dibanjiri komentar soal keberatan wisuda TK, SD, SMP, dan SMA, Nadiem Makarim terpantau tidak membalas komentar-komentar yang masuk.
Terkait banjir keluhan trend wisuda TK hingga SMA ini, Plt. Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Ristek, Anang Ristanto, mengatakan kegiatan wisuda TK-SMA merupakan kegiatan opsional.
Pihaknya menjelaskan, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 menyebutkan bahwa kegiatan bersama antara satuan pendidikan yang melibatkan orangtua harus didiskusikan dengan komite sekolah.
"Kemendikbud Ristek mengimbau agar pihak sekolah dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan komite sekolah dan persatuan orangtua murid dan guru (POMG)," kata Anang kepada Kompas.com, Selasa (13/6/2023).
Menurutnya, hal ini dilakukan untuk menentukan pilihan yang terbaik untuk setiap sekolah yang tentu tidak membebani pihak orang tua.
Tanggapan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka
Protes soal tren wisuda TK-SMA ini juga mendapat respons dari Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Gibran pun juga mengaku heran mengapa anak yang masih kecil juga harus wisuda.
"Do protes to? Cah cilik og yo do wisuda (Pada protes ya? Anak kecil kok ya wisuda,-Red)," ujar Gibran saat ditemui di Balai Kota Solo, Kamis (15/6/2023).
Meski demikian, Gibran menyerahkan persoalan itu kepada masing-masing sekolah dan juga orang tua.
Apabila acara wisuda tetap dilakukan dengan persetujuan orang tua, menurut Gibran, acaranya pun juga tidak harus digelar di hotel.
"Ya sak-sak e (ya terserah,-Red). Ya kalau orang tuanya nggak protes yo rapopo tapi nggak harus di hotel," tambah putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.
Nah, kalau menurut kamu apakah perlu cara wisuda untuk anak lulusan TK hingga SMA?
Artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Wisuda TK SD SMP SMA Diprotes, Ternyata Ini Sejarah Awal Mula Wisuda dan Toga, https://bangka.tribunnews.com/2023/06/19/wisuda-tk-sd-smp-sma-diprotes-ternyata-ini-sejarah-awal-mula-wisuda-dan-toga?page=all.