Sejauh ini memang dunia kesehatan di Indonesia belum memiliki panduan yang jelas soal penggunaan media sosial oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Riset tahun 2017 dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyebutkan masalah etik di media sosial dikarenakan pelanggaran privasi pasien, ketidakjelasan hubungan dokter dan pasien, serta pencemaran reputasi profesi.
Adapula permasalahan berupa kualitas dan tingkat kepercayaan informasi yang kurang terjamin dan pelanggaran aspek hukum.
Meski demikian, para dokter diharapkan menggunakan media sosial secara bijaksana dengan mempertimbangkan aspek-aspek etik yang termuat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Aturan tersebut mengutamakan profesionalisme, keterangan dan pendapat yang valid, kejujuran, kebajikan sejawat, serta rahasia jabatan.
Aturan Penggunaan Media Sosial Nakes di Eropa Berbeda dari Indonesia, tenaga kesehatan khususnya dokter di Eropa sudah memiliki ketetapan jelas.
Aturan ini disebutkan oleh General Medical Council (GMC) dalam publikasi berjudul "Doctor's use of social media" yang diterbitkan pada 2013 lalu.
GMC menegaskan dokter untuk menjaga batasan dengan pasien, menjaga kerahasiaan rekam medis dan informasi pribadi pasien, menghindari pencemaran nama baik dan menjaga rasa hormat terhadap sejawat.
Untuk itu, dokter disarankan memiliki dua akun media sosial yang berbeda.
Satu dipakai sebagai pemberi edukasi kesehataan berkenaan dengan profesinya sebagai nakes.
Informasi yang disampaikan harus dipilih agar tepat sasaran dan tidak menggangu privasi pasien.
Disarankan untuk memilih jenis media sosial dengan ekripsi yang baik agar informasi yang disebarkan tepat sasaran.
Sedangkan satu akun lagi terpisah yang bebas berisikan ekspresi pribadinya di luar profesi.
Hanya saja, dokter harus menolak pertemanan dari pasien di akun pribadi ini.