Ilustrasi tik tok
Ilustrasi tik tok ( Shutterstock/Ascannio )

Konten Viral Tenaga Kesehatan dan Bagaimana Kode Etik diMedia Sosial ?

19 April 2021 11:54 WIB

SonoraBangka.id - Aplikasi berbagi video TikTok menjadi sangat pupoler di seluruh dunia saat ini. 

Nah, baru-baru ini karena dianggap melanggar etika profesi, konten Tiktok beberapa oknum tenaga kesehatan menjadi viral.

Pelecehan seksual, mengumbar aib, sampai nyinyir soal status pasien menjadi beberapa diantaranya.

Profesi di dunia medis selama ini dianggap sebagai pekerjaan yang bergengsi sekaligus penuh tanggung jawab.

Namun, anggapan ini sempat tercoreng karena konten oknum nakes yang dianggap tak layak diumbar ke publik.

Kasus terbaru misalnya akun Tiktok @dr.kepinsamuelmpg yang membahas soal proses pengecekan bukaan saat kelahiran.

Padahal penggunaan media sosial selama ini dianggap sangat bermanfaat untuk edukasi masyarakat.

Sebuah survei yang dilakukan pada 4.000 dokter di sebuah situs internet menunjukkan bahwa 90 persen dokter menggunakan media sosial untuk aktivitas personal dan 65 persen dokter menggunakannya untuk keperluan profesi.

Manfaatnya cukup banyak karena dapat memperluas jaringan profesi, promosi institusi dan kesehatan.

Dokter juga berpartisipasi meningkatkan wawasan kesehatan masyarakat dan terlibat dalam diskusi soal kebijakan kesehatan.

Di sisi lain, penggunaan media sosial yang bijak bisa memfasilitasi hubungan profesional tenaga kesehatan, baik dalam skala nasional maupun internasional.

Dengan adanya media sosial, dokter lebih terbuka terhadap berita dan penemuan-penemuan baru dalam dunia kedokteran.

Sayangnya berbagai manfaat positif ini kemudian dirusak oknum nakes yang tak mengindahkan kode etik di dunia maya.

Hal ini mungkin agaknya karena kurangnya aturan yang jelas.

Sejauh ini memang dunia kesehatan di Indonesia belum memiliki panduan yang jelas soal penggunaan media sosial oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

Riset tahun 2017 dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyebutkan masalah etik di media sosial dikarenakan pelanggaran privasi pasien, ketidakjelasan hubungan dokter dan pasien, serta pencemaran reputasi profesi.

Adapula permasalahan berupa kualitas dan tingkat kepercayaan informasi yang kurang terjamin dan pelanggaran aspek hukum.

Meski demikian, para dokter diharapkan menggunakan media sosial secara bijaksana dengan mempertimbangkan aspek-aspek etik yang termuat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Aturan tersebut mengutamakan profesionalisme, keterangan dan pendapat yang valid, kejujuran, kebajikan sejawat, serta rahasia jabatan.

Aturan Penggunaan Media Sosial Nakes di Eropa Berbeda dari Indonesia, tenaga kesehatan khususnya dokter di Eropa sudah memiliki ketetapan jelas.

Aturan ini disebutkan oleh General Medical Council (GMC) dalam publikasi berjudul "Doctor's use of social media" yang diterbitkan pada 2013 lalu.

GMC menegaskan dokter untuk menjaga batasan dengan pasien, menjaga kerahasiaan rekam medis dan informasi pribadi pasien, menghindari pencemaran nama baik dan menjaga rasa hormat terhadap sejawat.

Untuk itu, dokter disarankan memiliki dua akun media sosial yang berbeda.

Satu dipakai sebagai pemberi edukasi kesehataan berkenaan dengan profesinya sebagai nakes.

Informasi yang disampaikan harus dipilih agar tepat sasaran dan tidak  menggangu privasi pasien.

Disarankan untuk memilih jenis media sosial dengan ekripsi yang baik agar informasi yang disebarkan tepat sasaran.

Sedangkan satu akun lagi terpisah yang bebas berisikan ekspresi pribadinya di luar profesi.

Hanya saja, dokter harus menolak pertemanan dari pasien di akun pribadi ini.

Agar tidak melanggar kode etik di dunia maya, diperlukan aturan privasi pegawai dan pasien di layanan kesehatan.

Tujuannya untuk mengetahui siapa saja yang mengakses konten yang dibuat atau disimpan oleh dokter.

Dokter juga juga harus waspada dengan sistem keamanan media sosial yang dipakainya karena kekhawatiran dapat membuka data kerahasiaan pasien.

Batasan hubungan dokter dan pasien juga dibutuhkan, misalnya dengan menolak pertemanan di akun pribadi dan membatasi pertemanan di akun profesi.

Jika mengupas contoh kasus tertentu, dokter harus merahasiakan data pasien dengan menghilangkan identitas dan meminta persetujuan yang bersangkutan. 

Hal ini erat kaitannya dengan risiko pencemaran nama baik yang mungkin menimpa dokter tersebut.

Untuk ini pula, nakes perlu berhati-hati ketika beropini soal rekan sejawat, pegawau, fasilitas kesehatan atau birokrasi kesehatan.

Penekanan lainnya, berdasarkan acuan GMC, dokter hanya boleh beriklan secara online dengan menjunjung kejujuran sepenuhnya.

Promosi diri hanya bisa dilakukan berdasarkan informasi yang terpercaya, akurat dan relevan.

Dikatakan pula dokter tidak diperkenankan menggunakan testimoni pasien untuk mempromosikan diri.

Hal tersebut bertujuan agar tidak ada konflik kepentingan yang bisa mencoreng nama baik profesi ini.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Konten Viral Tenaga Kesehatan dan Kode Etik di Media Sosial", Klik untuk baca: https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/18/155733820/konten-viral-tenaga-kesehatan-dan-kode-etik-di-media-sosial?page=2.

SumberKOMPAS.com
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm