Ilustrasi Sudah Berkeluarga Masih Diatur Orangtua
Ilustrasi Sudah Berkeluarga Masih Diatur Orangtua ( fizkes)

Sudah Berkeluarga Masih Diatur Orangtua. Apa Itu Helicopter Parenting?

7 Desember 2021 13:26 WIB

SonoraBangka.id - Baru-baru ini konflik antara selebritas Zayn Malik dan Yolanda Hadid, ibu dari pasangannya, Gigi Hadid, ramai diperbincangkan.

Sebelum kejadian ini, Yolanda Hadid memang dikenal sebagai sosok ibu yang banyak mengatur dan ikut campur urusan sang anak, Gigi.

Sehingga tidak sedikit media menyebut apa yang dilakukan Yolanda itu sebagai bentuk dari helicopter parenting. Apa, sih, helicopter parenting itu?

Istilah helicopter parenting pertama kali digunakan dalam buku Between Parents
& Tennegers (1969) oleh Dr. Haim Ginott’s.

Istilah ini merepresentasikan gaya asuh orang tua yang selalu “melayang” di atas mereka layaknya helikopter.

Maksudnya, orangtua banyak mengatur kehidupan anak, bahkan setelah anak menikah atau berkeluarga. Tentu saja jika tidak segera diatasi dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Menurut psikolog anak dan keluarga Ayoe Sutomo, M.Psi, Psikolog, dalam pola asuh helikopter ini orangtua sangat memerhatikan anaknya, dan selalu ada untuk melindungi sang anak, namun perhatian yang diberikan sangat berlebihan atau over protektif.

“Helicopter parenting lebih kepada orangtua yang terlalu fokus terhadap anak, ya, seperti helikopter mengelilingi anaknya ikut ke mana saja. Dalam konteks orangtua di sini, mencampuri berbagai macam keputusan-keputusan yang dibuat oleh anak, menentukan apa yang harus dibuat oleh anak,” jelas Ayoe kepada NOVA.

Berdampak Negatif

Lebih lanjut, helicopter parenting sebaiknya tidak dilakukan, karena memiliki dampak negatif. Apa saja, ya, dampaknya?

1. Anak tidak percaya diri, karena tidak pernah dibiarkan untuk mengambil
keputusan-keputusannya sendiri.

2. Tak mampu menghadapi masalah. Artinya kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah baik secara life skill maupun coping skill sangat buruk.

“Karena setiap ada masalah selalu ada orangtua yang di samping dia, melindungi dia, menjaminkan bahwa masalahnya akan selesai, bahkan membantu mengambil keputusan-keputusan yang dirasa ‘aman’ oleh orangtua,” jelas Ayoe.

3. Jadi pecemas. Anak yang dibesarkan dengan pola helicopter parenting cenderung
menjadi pecemas, sulit mengambil keputusan, takut salah.

4. Merasa istimewa. Karena selalu dinomorsatukan di rumah, saat anak bersosialisasi di luar rumah ia akan memiliki pikiran jika dirinya harus mendapatkan perlakuan istimewa.

Padahal belum tentu, di luar atau di lingkungan sosailnya ia memiliki keistimewaan khusus.

Menurut Ayoe, terkadang orangtua yang menjalankan helicopter parenting ini tidak sadar dengan apa yang dilakukannya.

 

Ada beberapa faktor yang membuat orangtua melakukannya. Mulai dari cemas berlebih akan kondisi sang anak.

Mendapatkan pola asuh yang sama dari orangtuanya, adanya tekanan sosial (misalnya komentar tetangga terkait anaknya), sampai over-compensation (misalnya karena dulunya terlalu dibebaskan hingga merasa tidak diperhatikan oleh orangtuanya).

Agar kita tidak terjebak dalam pola yang sama, kata Ayoe, “Sangat bisa untuk diputus, sepanjang menyadari kemudian dipahami, kita kenal apa yang jadi penyebabnya, kita kenal pola asuh kita dulu seperti apa, dan kita melakukan apa, termasuk pengasuhan yang berkesadaran.”

Jadi, tak berarti bila kita menerima pola asuh yang kurang tepat, lantas kita membenarkan pola asuh itu kepada anak-anak kita.

Bagaimana Menghadapinya?

Dampak dan masalah akibat dari pola asuh helikopter ini biasanya mulai sangat menganggu ketika si anak telah menikah atau berkeluarga.

Di mana orangtua masih mau banyak terlibat ikut campur dalam banyak keputusan kita, padahal saat berkeluarga.

Padahal tentu saja nilai-nilai kehidupan yang kita dan pasangan anut akan banyak berbeda
dengan orangtua.

Bila kita mendapat perlakukan seperti ini dari orangtua kita, bagaimana menghadapinya?

  • Buat Batasan

Buat batasan dengan orangtua, terkait misalnya hal-hal apa saja yang dapat dicampuri orangtua. Pastikan kita dan pasangan telah mendiskusikannya bersama dan sepakat alias kompak.

Penting agar hal ini disampaikan langsung oleh Anda sebagai anaknya, bukan pasangan Anda atau menantu dari orangtua.

  • Minimalisir kontak

Jika memungkinkan, sebaiknya kita dan pasangan tidak tinggal satu rumah dengan orangtua.

Tujuannya untuk meminimalisir kontak, selain membuat kita  lebih leluasa mengatur rumah tangga bersama pasangan.

Jadi, Kita juga bisa mulai belajar untuk mandiri.

SumberNova
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
101.1 fm
103.5 fm
105.9 fm
94.4 fm