SonoraBangka.id - Selain memanjakan umat manusia dengan kemudahan dan kecepatan, zaman teknologi digital juga menghasilkan budaya popular baru yang beragam.
Uniknya, untuk tiap budaya popular ada sebutan berikut gejala khasnya. Itu tak nampak nyata di zaman sebelumnya, zaman belum dominannya teknologi digital.
Salah satu yang berangkat dari gejala yang tak terlalu jelas, namun terus diterima secara luas adalah toxic masculinity.
Gejala ini kemudian berkembang jadi budaya massa, yaitu budaya yang hadir akibat diinisasi oleh media massa, menjangkiti khalayaknya, hingga diterima secara massal.
Demam K-wave misalnya, hiburan yang kemudian berpengaruh pada pemujaan terhadap segala hal yang berkait dengan Korea, merupakan perwujudan budaya massa itu.
Disebut demikian, lantaran penyebaran luas dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, digenggam jadi acuan perilaku maupun cara berpikir banyak kalangan.
Jika pada masa sebelumnya, agen budaya massa adalah media konvensional, hari ini media sosial lah yang bertindak sebagai agen.
Mengenal dan Memahami Toxic Masculinity
Akan halnya toxic masculinity, sebagai suatu bentuk budaya massa diawali oleh hadirnya gagasan yang melekatkan keharusan laki-laki untuk senantiasa tangguh.
Gender ini dituntut selalu punya pengaruh yang dominan sekaligus mampu tampil tanpa sikap emosional.
Racun gagasan ini, kemudian digunakan sebagai argumentasi yang ujungnya berupa pelanggengan sikap dominan, homofobia, dan agresivitas laki-laki.
Uraian terkait toxic masculinity ini dikemukakan oleh Amy Morin, 2022, dalam artikelnya yang berjudul “What is Toxic Masculinity”.
Ami Morin adalah pemimpin redaksi media online Verywell Mind, yang berlatar belakang sebagai psikoterapis, juga seorang penulis buku laris 13 Things Mentally Strong People Don't Do, dan pengasuh The Verywell Mind Podcast.
Toxic Masculinity dan Pengaruhnya dalam Keluarga
Toxic masculinity jadi penting dibahas sebab kehadirannya di tengah masyarakat, dianggap bertanggung jawab terhadap terhalangnya kehadiran keseimbangan peran laki-laki dengan perempuan, dalam relasi keluarga.
Halangan itu muncul, manakala laki-laki dituntut untuk selalu kuat, jadi penanggungjawab penuh organisasi keluarga, hingga selalu melakukan penyelesaian persoalan secara rasional.
Semua hal di atas tak memberi ruang pada laki-laki untuk bertindak lambat lantaran penuh kehatian-hatian, atau menunda akibat memperhitungkan waktu yang tepat dalam menyelesaikan persoalan.
Semua jeda dianggap sebagai manifestasi sisi emosional: hadirnya sikap ragu-ragu.
Laki-laki sebaliknya, justru diizinkan bertindak reaksioner, secepat-cepatnya menyelesaikan persoalan. Jika tidak, dianggap lembek.
Semua rangkaian ini pada gilirannya membuka jalan bagi hadirnya dominasi tanpa dialog, dalam pembagian peran di keluarga.
Yang kemudian berlaku, laki-laki menyelesaikan urusan rasional dan publik. Sisanya, perempuan untuk urusan yang emosional dan domestik.
Menelusuri Asal Mula Pembagian Peran Laki-Laki dan Perempuan
Nampaknya, urusan pembagian kesenangan dan kerja yang didasarkan pada perbedaan gender ini, bukan monopoli manusia.
Beberapa hasil penelitian pada satwa, menunjukkan ada perbedaan pembagian jatah kesenangan maupun kerja, antara jantan dengan betina.
Frank Marlowe, 2002 lewat tulisannya "Hunting and Gathering: The Human Sexual Division of Foraging Labor", menceritakan hal itu.
Terdapat perbedaan jenis makanan yang dikonsumsi satwa jantan dibanding betina.
Pada satwa betina, perbedaan diikuti oleh adanya aktivitas berbagi makanan, bagi sesama maupun anak-anaknya.
Indikasi ini jadi petunjuk, satwa betina bertanggung jawab menjalankan peran pengasuhan di dalam organisasi keluarganya.
Soal terkait pembagian kerja manusia yang terwariskan hingga hari ini, Marlowe melacaknya dari informasi yang terkumpul berdasar catatan dari populasi pemburu-pengumpul yang tersisa di dunia.
Populasi itu misalnya pada Hadza, pemburu-pengumpul yang ada di Tanzania.
Kelompok ini memberi gambaran tentang asal mula pembagian kerja secara seksual.
Laki-laki menjalankan peran sebagai pemburu, sedangkan perempuan sebagai pengumpul.
Namun dalam realitasnya, fenomena umum yang dapat disaksikan hingga hari ini, pola pengaturan peran sangat bervariasi. Ini sangat tergantung pada ruang dan waktunya.
Namun di antara berbagai varisasi itu, terdapat peran generik yang dijalankan laki-laki dan perempuan, keduanya berpasangan untuk menghasilkan keturunan.
Sebatas itu. Sisanya, berupa aktivitas untuk memaksimalkan produktivitas dalam menjaga keutuhan keluarga.
Akibat Ketidaksetaraan Gender dalam Keluarga
Manakala meletakkan spesialisasi peran pengasuhan pada perempuan, Rebecca Sear, 2021 yang menulis opininya melalui, “The Male Breadwinner Nuclear Family is not the ‘Traditional’ Human Family, and Promotion of This Myth May Have Adverse Health Consequences”, mengkhawatirkan keadaan itu.
Sesuai judul opininya yang panjang, Sear khawatir bila pengasuhan anak-anak dan keluarga bertumpu sebatas pada perempuan, yang artinya hanya sedikit peran laki-laki, justru akan menimbulkan persoalan kesehatan yang merembet pada anak-anaknya, pada sang ibu sendiri, dan juga sang ayah pada akhirnya.
Ayah yang tak terlalu hadir dalam porsi pengasuhan ini, terjadi akibat waktunya telah tersita sebagai pencari nafkah keluarga.
Namun dalam kenyataannya, tentu berdasarkan data penelitian sejarah, peran laki-laki sebagai pencari nafkah bukanlah peran tradisonal yang berlaku secara universal.
Mitos yang membagi peran laki-laki sebagai penanggung jawab urusan publik, sedangkan perempuan sebagai pengurus domestik itulah yang jadi sumber munculnya persoalan kesehatan ini.
Mengandaikan pengasuhan sebagai ekosistem ideal yang bertujuan memelihara kebahagiaan keluarga, termasuk yang bertujuan mengembangkan pertumbuhan fisik dan mental anak, tentu tak bisa hanya bertumpu pada salah satu gender.
Masing-masing gender berikut sistem pendukungnya, punya peran khas.
Hasilnya, jika hanya salah satu gender yang berperan maka akan menghadirkan permasalahan yang serius.
Urutan jalan berpikir di atas: adanya tuntutan tanggung jawab terhadap perempuan untuk memastikan anggota keluarga dalam keadaan baik-baik saja, memposisikan perempuan selalu waswas.
Ini menguras emosi, yang menghasilkan ketegangan bahkan depresi.
Ketaknyaman mental yang dialami perempuan ini, pada akhirnya berpengaruh pada persepsi terhadap kebahagiaan yang dialaminya.
Kebahagiaan dipersepsi hadir, manakala peran mengurus keluarga dilakukan secara setara.
Tidak adanya kesetaraan membuka peluang bagi hadirnya berbagai permasalahan. Ini termasuk ancaman kesehatan mental bagi seluruh keluarga.
Penjelasan logis ini, dikemukakan Jill Suttie, 2019, dalam artikelnya “How an Unfair Division of Labor Hurts Your Relationship: Inequality in a Couple Can Impact Everyone's Happiness”.
Ketidaksetaraan peran pasangan, dapat mempengaruhi kebahagiaan setiap orang dalam keluarga.
Pengaruh Teknologi dan Perubahan Peran Perempuan
Hari ini, ketika umat manusia secara massif terpengaruh oleh penggunaan mikroeletronik: handphone, tablet, komputer jinjing yang seluruhnya diberdayakan oleh internet, semua penyelesaian urusan jadi dipermudah.
Termasuk penyelesaian urusan keluarga.
Maka, masih relevankah pembagian urusan sebagai yang publik dengan yang domestik, yang rasional dengan yang emosional?
Pertanyaan ini relevan, sebagai implikasi yang hadir oleh penggunaan perangkat-perangkat elektronis di atas.
Muncul sebuah perabadan baru, yang tak menuntut adanya ruang (space of flows) dan keberadaan waktu (timeless time).
Ini artinya, tak semua urusan harus dilakukan dengan tatap muka, menuntut penyelesaian dari waktu ke waktu, seraya meninggalkan rumah. Semua dapat dilakukan simultan.
Termasuk dalam penyelenggaraan urusan keluarga: menjalankan aktivitas profesional, berbelanja, transaksi perbankan, menikmati hiburan, pemeriksaaan kesehatan, pemenuhan gizi keluarga, bahkan wisata “ke tempat lain”.
Semua dapat dilakukan tanpa beranjak dari rumah.
Keleluasaan yang pada gilirannya, memposisikan perempuan berkesempatan menyelesaikan berbagai urusan. Termasuk urusan publik yang rasional.
Hadirnya peradaban baru itu, bahkan bertumpu pada peran perempuan untuk menjalankannnya.
Pentingnya peran perempuan itu, dikemukakan Jordi Borja dan Manuel Castells, 1997, dalam bab “The City of Women”, pada buku Local and Global.
Keduanya mengungkapkan: dengan dipekerjakannya sejumlah besar perempuan, berakibat pada perubahan organisasi kota sehari-hari berikut berubahnya relasi kekuasaan antar jenis kelamin dalam keluarga.
Kondisi baru itu, menuntut kemampuan perempuan mengelola kesulitan yang dihadapi penduduk kota.
Tugas-tugasnya termasuk menangani sistem sekolah, birokrasi kesehatan, belanja mingguan di supermarket, pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur listrik keluarga.
Sementara di daerah perkotaan lainnya, tanggung jawab perempuan untuk memastikan kecukupan air, hingga menjaga kebersihan publik.
Tanpa peran perempuan, daerah perkotaan akan runtuh, mengalami epidemi.
'Feminisasi' tugas-tugas macam itu, tak terkait hukum kodrat kutukan abadi.
Nampaknya itu terjadi, oleh kehadiran teknologi yang membawa keluasaan bagi perempuan.
Masih hendak menyangkal berbagai realitas yang argumentasinya gamblang di atas?
Ya, tentu itu terbawa oleh ketimpangan relasi gender, yang terbangun oleh mitos maskulinitas.
Mitos yang alih wujud jadi toxic masculinity, racun mematikan yang enggan ditanggalkan.
Sebab dinikmati sebagai candu.
Artikel ini telah terbit di https://www.parapuan.co/read/533588792/toxic-masculinity-dan-pembagian-kerja-berbasis-gender-dalam-keluarga?page=all