Namun, tren ini sering dikritik karena konsumsi yang berorientasi pada kepuasan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Ketika ekonomi global menghadapi tantangan seperti kenaikan harga, suku bunga, dan inflasi, tren ini mulai bergeser. YONO pun hadir sebagai antitesis YOLO.
Orang-orang yang memilih YONO, hidup dengan meminimalkan kepemilikan barang dan hanya mengonsumsi hal-hal yang benar-benar diperlukan.
Prinsip tren gaya hidup YONO mencakup keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Mengapa YONO Menarik Generasi Z?
Generasi Z dikenal gemar mengekspresikan diri melalui konsumsi. Namun, tren low consumption core mulai muncul sebagai reaksi terhadap budaya konsumsi impulsif yang didorong media sosial.
Misalnya, tantangan seperti "10,000 Won Challenge" yang sempat populer di Korea Selatan, memperlihatkan bagaimana seseorang bisa hidup dengan anggaran terbatas tanpa kehilangan kebahagiaan.
Nunu Kaller, seorang jurnalis Austria yang juga aktivis lingkungan, menyebut dalam bukunya "The World of Water":
"Semakin cepat tren menyebar, semakin cepat pula kita bosan dengan produk yang kita miliki. Akhirnya, kita terus mencari stimulasi baru, menciptakan lingkaran konsumerisme yang tidak berujung."
YONO menawarkan solusi dengan mengadopsi konsumsi minimalis yang tetap stylish, tetapi memiliki fokus pada nilai dan tujuan jangka panjang.