SonoraBangka.id - Seperti diketahui, beberapa waktu terakhir viral istilah YONO yang disebut menggantikan tren gaya hidup YOLO.
Tren YOLO (You Only Live Once) tentu sudah tidak asing lagi di telinga Kawan Puan, khususnya Gen Z.
Lantas, apa bedanya YOLO dengan YONO sehingga tren gaya hidup tersebut bakal ditinggalkan?
Daripada penasaran, yuk simak informasi lengkapnya seperti merangkum Maeil Business Newspaper di bawah ini!
Gaya hidup YOLO (You Only Live Once) sempat mendominasi generasi muda dengan semboyan "Hidup hanya sekali".
Dalam tren ini, orang-orang lebih fokus pada kebahagiaan sekarang, dengan mengutamakan pengalaman dibandingkan persiapan masa depan.
Namun, di tengah perubahan ekonomi global dan kesadaran akan keberlanjutan, muncul generasi baru yang disebut YONO (You Only Need One).
YOLO berakar pada konsumsi yang memprioritaskan kesenangan jangka pendek, seperti berwisata, makan di luar, atau mengejar hobi.
Namun, tren ini sering dikritik karena konsumsi yang berorientasi pada kepuasan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Ketika ekonomi global menghadapi tantangan seperti kenaikan harga, suku bunga, dan inflasi, tren ini mulai bergeser. YONO pun hadir sebagai antitesis YOLO.
Orang-orang yang memilih YONO, hidup dengan meminimalkan kepemilikan barang dan hanya mengonsumsi hal-hal yang benar-benar diperlukan.
Prinsip tren gaya hidup YONO mencakup keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Mengapa YONO Menarik Generasi Z?
Generasi Z dikenal gemar mengekspresikan diri melalui konsumsi. Namun, tren low consumption core mulai muncul sebagai reaksi terhadap budaya konsumsi impulsif yang didorong media sosial.
Misalnya, tantangan seperti "10,000 Won Challenge" yang sempat populer di Korea Selatan, memperlihatkan bagaimana seseorang bisa hidup dengan anggaran terbatas tanpa kehilangan kebahagiaan.
Nunu Kaller, seorang jurnalis Austria yang juga aktivis lingkungan, menyebut dalam bukunya "The World of Water":
"Semakin cepat tren menyebar, semakin cepat pula kita bosan dengan produk yang kita miliki. Akhirnya, kita terus mencari stimulasi baru, menciptakan lingkaran konsumerisme yang tidak berujung."
YONO menawarkan solusi dengan mengadopsi konsumsi minimalis yang tetap stylish, tetapi memiliki fokus pada nilai dan tujuan jangka panjang.
Inspirasi dari Minimalisme
Gaya hidup YONO memiliki akar dari konsep minimalisme yang populer di Jepang, seperti Danshari dan Gonmari.
Danshari, yang dipopulerkan oleh Hideko Yamashita, menekankan pentingnya melepaskan barang yang tidak diperlukan untuk mencapai ketenangan batin.
Sementara itu, Gonmari (Marie Kondo) mengajarkan pentingnya memilah barang berdasarkan apakah benda tersebut "memercikkan kegembiraan" (spark joy).
Namun, YONO melangkah lebih jauh dengan memperhatikan dampak konsumsi terhadap lingkungan.
Generasi YONO cenderung memilih barang berkualitas tinggi yang tahan lama, menggunakan bahan ramah lingkungan, serta mendukung ekonomi lokal melalui pembelian produk daerah.
Mengutamakan Keberlanjutan Ekonomi dan Lingkungan
Tren YONO membawa pesan penting tentang konsumsi yang bertanggung jawab.
Ini tidak hanya mengurangi pengeluaran pribadi, tetapi juga berdampak positif pada keberlanjutan planet.
Contohnya, penggunaan barang bekas, daur ulang, dan transaksi barang preloved kini dianggap sebagai gaya hidup yang keren.
Ke depannya, konsumen generasi YONO diperkirakan akan terus menjadi penggerak perubahan sosial.
Dengan prinsip "hanya membeli yang diperlukan", mereka tidak hanya menekan konsumerisme berlebihan tetapi juga mendorong kesadaran akan isu-isu lingkungan dan sosial.
Gaya hidup ini mungkin menjadi solusi tepat di tengah tantangan dunia modern yang semakin kompleks.
Demikian tadi definisi tren gaya hidup YONO dan perbedaannya dengan YOLO.
Nah, apakah kamu tertarik untuk mencoba gaya hidup YONO?
Artikel in telah terbit di https://www.parapuan.co/read/534200220/apa-itu-yono-yang-disebut-gantikan-gaya-hidup-yolo-di-tahun-2025?page=all